MAKALAH
AGAMA
T
E N T A N G
“MAWARIS
DALAM ISLAM HAJIB DAN MUHJIB SERTA PARA AHLI WARIS”
DOSEN
: Dr.TGK ANWAR ST, M.Ag, MT
DISUSUN
OLEH :
MUHAMMAD RIDHA FASHA
(160130124)
FAKULTAS
TEKNIK JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS
MALIKUSSALEH
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan
hidayah-Nya, makalah ini dapat di selesaikan. Makalah ini merupakan makalah
pengetahuan bagi mahasiswa/I maupun para
pembaca untuk bidang ilmu pengetahuan. Makalah sendiri ini di buat guna
memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah “Pendidikan Agama II” dengan judul “MAWARIS
DALAM ISLAM HAJIB DAN MUHJIB SERTA PARA AHLI WARIS”. Dalam penulisan makalah ini penulis penulis berusaha menyajikan
bahasa yang sederhana dan mudah di mengerti oleh para pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.
Oleh karenanya, penulis menerima kritik dan saran yang positif dan membangun
dari rekan-rekan pembaca untuk menyempurnakan makalah ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada kita semua. Amin.
Lhokseumawe, 14 maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………... i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………….. ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang……………………………………………………………………….. 1
2.
Rumusan Masalah……………………………………………………………………
2
BAB II
PEMBAHASAN
1.
HUKUM
KEWARISAN………………………………………………………… 3
2.
SUMBER
HUKUM KEWARISAN…………………………………………. 5
3.
TUJUAN
KEWARISAN ISLAM……………………………………………. 7
4.
ASAS
KEWARISAN ISLAM………………………………………………… 8
5.
UNSUR-UNSUR
DAN SYARAT KEWARISAN…………………….. 11
6.
SEBAB-SEBAB
ADANYA KEWARISAN MENURUT ISLAM. 13
7.
SEBAB-SEBAB
YANG MENJADI PENGHALANG
KEWARISAN………………………………………………………………………..
16
1.
AHLI
WARIS, HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN,
HAJIB DAN
MAHJUB…………………………………………………………… 18
1.
WARISAN
DALAM UU NO 7 TAHUN 1989 ………………………… 23
2.
CARA
MENGHITUNG, MEMBAGIKAN WARISAN……………… 24
BAB III PENUTUP
1.
KESIMPULAN………………………………………………………………………
25
2.
SARAN………………………………………………………………………………….
26
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث),
yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan –
mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; Berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu
kaum kepada kaum lain. Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah,
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan
dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang
yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan
dalam Al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari
siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak
menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Jadi disebut dengan ilmu
faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang
berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang
akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa hukum kewarisan?
2.
Apa
sumber hukum kewarisan?
3.
Apa
tujuan kewarisan islam?
4.
Apa asas
kewarisan islam?
5.
Apa unsur-unsur
dan syarat kewarisan islam?
C. Tujuan Pembuatan Makalah
- Untuk
mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
- Untuk
menambah wawasan pembaca mengenai hokum waris menurut
pandangan agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN
A.
HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan
terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at
Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.Hukum membagi harta warisan
menurut ketentuan syari’at Islam.Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah
ditentukan nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut
tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash Al-Quran maupun Al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :
1.
Surat an-Nisa’
ayat 13 dan 14 :
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang
siapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan
itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke
dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.
(Q.S. An-Nisa’ : 13-14).”
2.
Hadis
Rasulullah SAW.
“Bagilah harta (warisan)
antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu
Dawud).”
Berdasarkan nash Al-Quran dan Al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi harta
warisan menurut ketentuan Al-Quran dan Al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan,
adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga terhadap orang lain yang tidak
mendapatkan harta melalui kewarisan dapat diberikan melalui wasiat atau hibah.
Demikian pula bagi ahli waris yang merasa tidak membutuhkan dan tidak mau
menerima pembagian harta warisan, dapat memberikan kepada orang lain yang lebih
membutuhkan melalui hibah.
2.
Hukum
mempelajari dan mengajarkannya.
Islam mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak
terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut
seringkali terjadi jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan perselisihan
bagi ahli warisnya dalam pembagian harta, bahkan tidak jarang terjadi
pertikaian.. Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam,
maka harus ada orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang
yang telah mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan
bagi umat Islam. Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih
mawaris adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang
yang melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang.
Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka
semua orang menanggung dosa.
Dalam hadis Nabi dinyatakan ;” Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain, dan
pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah
orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua
orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun
yang dapat memberikan fatwa kepada mereka.” (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
B.
SUMBER HUKUM
KEWARISAN
1.
Al-Quran
Ø Surat an-Nisa’ ayat 7 :
“Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan. “(An-Nisa’
: 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak
mewarisi harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut
menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima
warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.
Ø Surat al-Ahzab ayat 6 :
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka
sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam
kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau
kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian
itu telah tertulis dalam kitab (Allah).” (Al-Ahzab : 6).
Berdasarkan ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan lebih berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada
orang lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada
orang lain (seagama) dengan melalui hibah atau wasiat. Ayat-ayat lain yang
berhubungan dengan kewarisan adalah:
ü
Q.S. Al-Baqarah 180
ü
Q.S. An-nisa’ ayat 11,12,8,9,176 dan
ü Q.S. Al-Anfal 75.
Ayat-ayat tersebut
menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik yang termasuk ashabul
furudl maupun ashabah.
2.
Al-Hadis
Ø Riwayat Bukhari dan Muslim.
Nabi SAW. bersabda; “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak,
sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat
kekerabatannya).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ø Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
“Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak
berhak mewarisi orang muslim.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
C. TUJUAN KEWARISAN ISLAM
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan sebagai berikut
:
1.
Penetapan
bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas,
bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris.
Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus
mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan
masing-masing.
2.
Baik
laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah
hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang
berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan
sesuai dengan porposi beban dan tanggung jawabnya.
1.
ASAS KEWARISAN
ISLAM
Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat
merumuskan asas-asas kewarisan Islam sebagai berikut :
1.1.
Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum
Islam berlaku secara ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung arti
paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Hal tersebut berarti bahwa
peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya berlangsung
dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa bergantung kepada kepada
ahli waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal :
1.
Segi
peralihan harta
2.
Segi
jumlah pembagian
3.
Segi
kepada siapa harta itu beralih.
1.2.
Asas
Bilateral
Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima
warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan
laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan
dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak
mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.
Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda
maupun janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki
dan saudara perempuannya. Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’
ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi
menggantikan ibu atau bapaknya.
1.3. Asas Individual
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta
peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung
kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat
an-nisa’ ayat 11, yaitu;
1.
Bahwa
anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
2.
Bila anak
perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan
3.
Dan jika
perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap
insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan
tetapi berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam
ushul fiqih disebut “ahliyatul ada”. Dalam artian pembagian harta tersebut
diberikan kepada seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan
orang tersebut.
1.4. Asas keadilan berimbang
Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan
pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris), sehingga
kadar yang diterima oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab
seseorang.
Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari
perempuan, sehingga suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian
perempuan. Tanggung jawab tersebut dari ayat al-Quran :
1) Al-Baqarah 23 : ”Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf.” (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa’ 34 : `”Kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihi sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena itu mereka telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka….”(Q.S. An-Nisa’ : 34).
3) Ath-Thalaq 6 : “Tempatkanlah
mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmua….”(Ath-Thalaq : 6).
1.5. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta melalui cara
kewarisan, dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal. Hal tersebut
dapat dikaji dari penggunaan kata-kata warasa. Hubungan kewarisan Islam
dengan kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat ini belum terdapat suatu kesatuan
hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara universal bagi seluruh warga
negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan yang diterapkan bagi warga
negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari warga negara. Penggolongan tersebut adalah
:
a) Bagi warga negara Indonesia asli
Bagi warga negara Indonesia asli pada prinsipnya berlaku Hukum Adat.
Yang dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah
dengan daerah yang lain. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan sifat
kekeluargaan mereka masing-masing.
Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu ;
1.
Sistem
Patrilinial, yaitu ditarik menurut garis bapak
2.
Sistem
Matrilinial, yang ditarik menurut garis ibu.
3.
Sistem
Parental, yang ditarik menurut garis ibu-bapak.
b) Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam
Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, selain dipengaruhi
hukum kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh kewarisan Islam. Berkaitan dengan hal
tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di masing-masing daerah (hukum
kewarisan adat) harus disesuaikan dan berpedoman pada kewarisan Islam. Sebab
umat Islam mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya.
c) Bagi orang-orang Arab
Pada umumnya seluruh hukum kewarisan Islam berlaku bagi orang-orang Arab
di Indonesia.
d) Bagi orang Tionghoa dan Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan yang
termuat dalam Burgelijk Wetboek (BW) buku II pasal 830 sampai dengan pasal
1130.
UNSUR-UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN
A. UNSUR KEWARISAN
Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
1.
Maurus.
Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi
biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini
yang diamaksdukan hal tersebut adalah:
·
Kebendaan
yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap,
benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib) yang
dibayarkan kepadanya.
·
Hak-hak
kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu
jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.
·
Benda-benda
yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak memanfaatkan
barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
·
Benda-benda
yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan,
benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar
tetapi barang belum diterima.
2.
Muwaris.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya.
3.
Waris.
Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris
karena mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan
sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.
B. SYARAT KEWARISAN
Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam
adalah
1.
Matinya
muwaris.
Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
1.1 Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang
dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
1.2 Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya
orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap
orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus
terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.
1.3 Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu orang yang dinyatakan mati
berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan
tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat
dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang
secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar
beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal.
2.
Hidupnya
waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian
muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang
masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
3.
Tidak
adanya penghalang-penghalang mewarisi.
Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
hal-hal yang menjad penghalang kewarisan.
SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN MENURUT ISLAM
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu;
hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab Al-wala’.
1.
Hubungan
Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab
memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure
causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan
perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang. Dasar hukum kekerabatan
sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
2.
Hubungan
Perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah
perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam
hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat
administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di
Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau
tidaknya perkawinan bukan secara ketentuan agama.
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah
perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan
perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus
dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang
isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama
masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri,
tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali. Sehingga isteri yang sedang
berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak
mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta
isterinya.
3.
Hubungan Karena Sebab Al-Wala’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
ü
Wala’
yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab
telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika
laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Adapun bagian orang yang memerdekakan
hamba sahaya (budak) adalah 1/6
(seperenam) dari harta peninggalan.
ü
Sedangkan
wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat
kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian.
Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi
hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku
dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan menagambil
diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak
pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawalah.Terhadap wala al-muwalah
menurut jumhur ulama
SEBAB-SEBAB YANG MENJADI PENGHALANG KEWARISAN (HAJIB DAN
MUHJIB)
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu :
( موانع الارث ) ada tiga macam, yaitu :
1.
Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk
umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum.
Hal ini berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75). Mafhum ayat
tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi hak milik
kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada
ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus.
2.
Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas
(jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak
menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena
motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak
diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali
bin Abi Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat
al-Quran bersifat umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat
kewarisan hanya memberi petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut
harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan.
Padahal dalam hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh.
Adapun dasar hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang
menyatakan pembunuh terhalang untuk mewarisi adalah;
1.
Riwayat
Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka
ia tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain
dirinya. (Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya
sendiri. Maka bagi pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
2.
Riwayat
An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh
terhalang untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun
tidak ada ahli waris lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua
atau anaknya. Yang menjadi permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan
macam pembunuhan. Apakah secara keseluruhan pembunuhan menjadi penghalang untuk
mewarisi. Dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
3.
3.
Berlainan Agama
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam
menjadi penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi,
Al-Nasai, dan Ibnu majah) : Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang
pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman
beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang
meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan
kepada anak-anaknya yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan
terhadap anak-anaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak
diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam
sesudah meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk
Islam) belum dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
1.
Jumhur
ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya.
Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian
orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
2.
Imam
Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak
terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum
pembagian harta warisan.
3.
Fuqaha
aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang,
karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara tetap,
sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris
4.
AHLI WARIS,
HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN, HAJIB DAN MAHJUB.
5.
1. Ahli Waris
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya
dapat dibagi dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1.
Ahli
Waris lelaki terdiri dari.
2.
Anak
laki-laki
3.
Cucu
laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
4.
Ayah
5.
Kakek
sampai keatas garis ayah
6.
Saudara
laki-laki kandung
7.
Saudara
laki-laki seayah
8.
Saudara
laki-laki seibu
9.
Anak
laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
10. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
11. Paman kandung
12. Paman seayah
13. Anak paman kandung sampai kebawah.
14. Anak paman seayah sampai kebawah.
15. Suami
16. Laki-laki yang memerdekakan
17. Ahli Waris wanita terdiri dari
18. Anak perempuan
19. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
20. Ibu
21. Nenek sampai keatas dari garis ibu
22. Nenek sampai keatas dari garis ayah
23. Saudara perempuan kandung
24. Saudara perempuan seayah
25. Yang Saudara perempuan seibu.
26. Isteri
27. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul
furudh dan Ashobah.
1.
Ashabul
furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
2.
Yang dapat bagian ½ harta.
o Anak perempuan kalau sendiri
o Cucu perempuan kalau sendiri
o Saudara perempuan kandung kalau sendiri
o Saudara perempuan seayah kalau sendiri
o Suami
1.
Yang mendapat
bagian ¼ harta
o Suami dengan anak atau cucu
o Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
1.
Yang mendapat
1/8
o Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
1.
Yang mendapat
2/3
o dua anak perempuan atau lebih
o dua cucu perempuan atau lebih
o dua saudara perempuan kandung atau lebih
o dua saudara perempuan seayah atau lebih
1.
Yang mendapat
1/3
o Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara
kandung/seayah atau seibu.
o Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
1.
Yang mendapat
1/6
o Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan
kandung atau perempuan seibu.
o Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak
perempuan kandung
o Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara
perempuan kandung.
o Ayah bersama anak lk atau cucu lk
o Kakek jika tidak ada ayah
o Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2.
Ahli waris
ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka
dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu
ashabah binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
3.
Ashobah
binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi
sebagai berikut:
o Anak laki-laki
o Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
o Ayah
o Kakek dari garis ayah keatas
o Saudara laki-laki kandung
o Saudara laki-laki seayah
o Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
o Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
o Paman kandung
o Paman seayah
o Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
o Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
o Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
1.
Ashobah dengan
dengan saudaranya
o Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
o Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
o Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah.
o Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
1.
Menghabiskan
bagian tertentu
o Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau
lebih (2/3).
o Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
2.
2. Harta yang
harus dikeluarkan
Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris:
1.
Biaya
jenazah
2.
Utang
yang belum dibayar
3.
Zakar
yang belum dikeluarkan
4.
Wasiat
5.
3. Hajib dan
mahjub
6.
Nenek
dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
7.
Nenek
dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
8.
Saudara
seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
9.
anak
kandung laki/perempuan
10. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
11. bapak
12. kakek
13. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
14. ayah
15. anak laki-laki kandung
16. cucu laki-laki dari garis laki-laki
17. Saudara laki-laki kandung
18. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
19. anak laki-laki
20. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
21. ayah
22. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
23. suami
24. ayah
25. anak laki-laki
26. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang
dapat warisan ialah:
27. Isteri
28. Anak perempuan
29. Cucu perempuan
30. Ibu
31. Saudara perempuan kandung
32. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki seayah
sampai kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
33. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P )
34. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
35. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
36. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
37. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
38. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
39. Paman kandung menggugurkan paman seayah
40. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
41. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
42. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
43. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah. demikian
seterusnya.
44. WARISAN DALAM UU NO 7 TAHUN 1989
Hukum waris dalam Islam ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas
oleh RasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh
seluruh umat Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah mengalami perubahan,
karena perbuatan mengubah hukum Allah ialah dosa. Semenjak dsahulu sampai
sekarang umat Islam senantiasa memegang teguh hukum waris yang diciptakan Allah
yang bersumber pada kitab suci Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.
Dalam Undang undang no 7 Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara
sistematis dalam 5 bab yang tersebar atas 37 fasal dengan perincian sebagai
berikut:
Bab. I : Terdiri atas 1 pasal , ketentuan umum.
Bab. II : Terdiri atas 5 pasal, berisi tentang ahli waris
Bab. III. : Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli
waris
Bab. IV : Terdiri atas 2 pasal, berisi tentang aul dan rad.
Demikianlah selayang pandang tentang Undang-Undang no 7 tahun 1989,
Prinsipnya sama dengan hukum yang bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits.
1.
CARA
MENGHITUNG, MEMBAGIKAN WARISAN
Contoh Kasus
Pertanyaan
:
Seseorang Meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian masing-masing?
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian masing-masing?
Jawab :
Untuk dapat menjawab kasus ini mari kita buka materi yang terdapat pada
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 – Rp 11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak mendapatkan bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah asobah/sisa, maka Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 – Rp 11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث),
yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan –
mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah,
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa
saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan
hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih
hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari
siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak
menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut;
soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain
yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah,
yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang
telah dipastikan kadarnya.Jadi disebut dengan ilmu
faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang
berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya)yang
akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan.
1.
SARAN
Demikian materi makalah Fikih Mawaris dapat saya suguhkan, semoga dengan
uraian sederhana ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya selaku penyusun dan
para pembaca yang
budiman pada umumnya.
Komentar
Posting Komentar